Berita palsu, penyebar kebohongan, dan kecerdasan buatan

AR Wasil
2 min readJan 3, 2017

--

Tengah kota memang ramai. Jelas sekali terlihat mata dan kita berada di dalamnya. Terlintas di kepala, bagaimana dengan tengah kota dalam dunia maya. Kalau media sosial kita ibarat kan kota, mungkin news feeds jadi alun alun nya. Disana terlihat ramai pula aktivitasnya. Ada yang mendiskusikan politik pilkada, ada yang mendemonstrasikan makanan yang terlihat syedap-tasty, di sudut lainnya ada pula yang tertatap sedih merenungkan saudara kita yang sedang tertimpa bencana. Aktifitas tengah kota media sosial sangat ramai. Deras sekali arusnya. Kita yang berada di tengahya serasa dipanggil kesana kemari, semua berteriak ingin dikunjungi atau sekedar meminta perhatian.

Tertarik kembali ke dunia nyata, sejenak saya teringat mengenai isu yang sedang ramai diperbincangkan di ibukota. Berita palsu, penyebar kebohongan, dan kecerdasan buatan. Semua topik ini berada dalam dunia maya, dunia yang tak terlihat oleh mata, tak terasa oleh indera perasa dan tak terbayang jelas oleh pikiran biasa.

Kembali..

Di setiap keramaian, selalu ada celah keributan. Diperhatikan lebih teliti, ada satu atau dua sumber keributan yang bersembunyi, berjalan santai, mengintip dari kejauhan, siap siaga untuk beraksi memanaskan arena.

Waspada, karena sosok ini lah yang selalu meramaikan acara, membakar suasana dan menggiring obrolan ke arah negatif yang ujungnya adalah keributan.

Jangan salah, sosok ini sangatlah cerdik. Tidak kalah cerdik dengan saudara-saudara lawyer di layar kaca, dan tidak kalah gaptek dengan lulusan lususan teknik dari institut di bandung sana. Modusnya bermacam macam, bisa dengan melemparkan opini ganda, kesimpulan berbalik atau bisa jadi obrolan yang dia mulai di awal pun, yang sebenarnya sebuah fakta, dia tambahi bumbu rahasia agar terasa lebih renyah dan menggoda.

Warga yang selamat adalah warga yang cerdik pula. Tapi sayang, mereka bukan targetnya. Orang awam yang tak pernah tau urusannya ini yang menjadi umpan matang. Siap untuk diberikan sulutan dan dibakar. Celakanya, ketika orang awam ini adalah sodara kita kita juga, bisa jadi tetangga kita, adik kita, guru, bapak atau ibu kita. Saat sudah termakan dengan umpannya, mereka tak hanya tinggal diam tapi mencoba untuk melibatkan orang di sekitarnya, baik itu orang awam pula ataupun orang cerdik diantaranya. Siapapun yang tidak sependapat dengannya seakan otomatis menjadi pesaingnya. Perangkap jitu. Maknyos.

Tapi sayang, warga cerdik tidak mudah kalah. Walau terseret arus besar di kanan dan kirinya dia tidak pantang menyerah. Dia selalu tetap mengedepankan asas kebenaran (filter) dan keamanan (cari aman). Lebih baik diam daripada bicara, karena bicara itu butuh tenaga. Ya iya si.

Terlalu sulit mengalahkan warga cerdik di arena opini, mereka selalu memfilter keadaan. Kalaupun tidak terfilter, ujungnya akan sama, karena mereka hanya diam tidak berkomentar. Api padam bila tidak ada udara.

Hanya saja tidak semuanya kuat. Tidak sedikit pasukan warga cerdik tumbang ditengah. Sebagian diantara mereka yang menyerah melampiaskan amarahnya dengan berbicara lantang, mencoba mengedepankan logika dan akal, padahal kita semua tahu ini bukan perang logika. Obrolan itu sudah terlewat jauh. Jauh sekali sebelum hendak berpikir memasuki arena. Ini adalah pertandingan etika. Dan yang menjadi bencana, mereka berbalik ikut menyerang teman lamanya.

Di tengah chaos yang terjadi ini, dimanakah kalian berada?

Kalau saya sih lagi dipojokan, nge teh 😆.

--

--

AR Wasil

Product Designer at Tech Startup. Follow for fresh digest about productivity & design.| 📖 Author PetunjukUX.com | I give more design tips @ twitter.com/arwasil